COMPASSIONATE MARKETING

COMPASSIONATE MARKETING

Awalnya, stock option diciptakan dengan tujuan yang sangat indah dan mulia. Intinya, manajer dan eksekutif perusahaan diberi opsi kepemilikan saham yang nyaris risk – free untuk jangka waktu tertentu; opsi itu bisa di exercise ketika, misalnya, harga saham tersebut sedang bagus.

Tujuannya apa? Tujuan mulianya adalah agar si eksekutif bisa bertindak layaknya pemilik alias shareholder. Dengan demikian, akan terwujud “company of owners”. Karena eksekutif bertindak layaknya pemilik, maka misi utama eksekutif akan sama dan sebangun dengan misi pemilik, yaitu value creation. Atau gampangnya, setiap jengkal pikiran dan tindakan eksekutif akan selalu mengarah
ke duit, duit, dan duit. Wajar saja, karena misi utama perusahaan memang value creation atau mesin duit

Namun tujuan yang begitu mulia itu menjadi amburadul ketika kita melihat kenyataan skandal keuangan yang terjadi beruntun beberapa bulan terakhir. Kira – kira dua minggu lalu saya membaca survey majalah Fortune Hasil survey.

Ini menarik sekaligus menyedihkan. Melalui survey ini, Fortune berhasil mengungkapkan, di tengah – tengah bangkrut dan hancurnya perusahaan – perusahaan seperti Enron, Qwest Communications, Global Crossing, Tyco, WorldCom (sebut saja mereka, the America’s Losingest Companies), terdapat
segelintir eksekutif yang mengambil keuntungan, dan bisa dipastikan mereka mendadak kaya raya tak hanya sekadar kaya raya, tapi amat sangat kaya raya.

Kenapa mereka kaya raya? Karena, mereka berhasil meng-exercise opsi saham mereka di tingkat harga saat posisi perusahaan tersebut di Wall Street berada di puncak – puncaknya. Kita tahu perusahaan – perusahaan macam Enron, WorldCom. Qwest, atau Global Crossing adalah perusahaan balon (bubble companies) yang dimasa jayanya begitu perkasa di Wall Street karena ditiup sebesar – besarnya oleh eksekutif puncak mereka. Namanya saja perusahaan balon, dari luar memang kelihatan gemuk, perkasa, dan molek, tapi sesungguhnya dalamnya kosong melompong dan rapuh. Umumnya, para eksekutif menjual opsi saham mereka saat harga di puncak – puncaknya, kira – kira detik – detik menjelang balon mau meletus.

Keuntungan yang mereka raup nggak kepalang tanggung. Philip Anschultz, Direktur Qwest Communication, meraup tak kurang dari US$2,26 miliar; Lou Pai, Kepala Divisi Enron meraup US$994 juta; Gary Winnick, Chairman Global Crossing meraup US$951 juta. Fortune menghitung total transaksi opsi saham ini selama setahun terakhir di perusahaan balon yang nilai sahamnya terjun bebas minimal 75%. Anda mau tahu berapa angka yang dihasilkan survey fortune? sangat fantastis, sekitar US$66 Miliar atau kira – kira setengah GDP kita Apa artinya ini? Artinya, ketika investor public di Wall Street menangis meraung – raung atau bahkan bunuh diri karena 70%, 90%, atau seluruh hartanya ludes, segelintir eksekutif ini berhasil meraup dana segar US$66 miliar. Ketika investor public jatuh miskin, mereka menimbun kekayaan yang tak habis tujuh turunan.

Pertanyaannya, apa salah mereka meng – exercise opsi saham mereka saat harga sedang bagus – bagusnya? Sama Sekali tak salah. Yang salah adalah, ketika dengan sadar mereka “meniup” kinerja palsu dari perusahaan balon yang mereka kelola, kemudian mempercantiknya, dan setelah cantik kemudian mereka mengedarkannya ke investor public, si investor kepincut dan jatuh cinta setengah
mati, si investor kemudian berburu saham perusahaan tersebut, harga saham meroket, dan akhirnya ketika saham berada di puncak, inilah kesempatan emas bagi si eksekutif meraup kekayaan. Jadi masalah etik yang sangat serius di sini adalah, si eksekutif tamak ini tahu persis bahkan sengaja menjual dagangan yang tampak luarnya saja cantik molek, tapi dalamnya busuk penuh ulat.

Yang menarik, cara para eksekutif ini mempercanrik perusahaan balon. Mereka membawanya ke salon dan me-makeup-nya habis – habisan : diluluri, dibedaki, dilipstiki. Bagaimana cara mereka me-makeup? Pertama, melalui creative accounting: kapitalisasi expense, transaksi off-balance sheet; transfer pricing ke account – account yang merupakan “tax heaven area”, dan sebagainya. Kedua, dengan mengundang konsultan top dunia untuk membikinkan cetak biru strategi dan model bisnis yang solid, yang laku keras ketika dijual di Wall Street.

Dan ketiga, berkongkalikong dengan para analis dari perushaan investment bank top dunia untuk meroketkan harga saham. Kita tahu para analis ini adalah orang kuat di Wall Street. Merekalah sesungguhnya yang berkuasa mempengaruhi, membentuk, dan menaikturunkan harga saham, melalui nasihat dan laporan riset mereka kepada investor. Seharusnya nasihat dan laporan riset tersebut jujur dan obyektif, tapi karena mereka dibayar, ya nasihat dan laporan riset itu kemudian menjadi alat mereka untuk mendongkrak harga saham perusahaan balon di atas.

Kasus di atas adalah bagian kecil saja dari gambaran muram praktik corporate governance. Kasus tersebut menunjukkan kepada kita betapa semakin tingginya kompleksitas bisnis, semakin canggihnya tools manajemen bisnis, dan semakin majunya perangkat regulasi, ternyata bukannya menjadikan praktik corporate governance semakin dewasa dan beradab. Justru sebaliknya, ia semakin kebablasan tanpa etika, tanpa nilai – nilai moral, tanpa pegangan.

Karena itu, era pasca – Enron membutuhkan model perusahaan yang berbeda dari masa – masa sebelumnya. Era ini membutuhkan tak hanya value – based corporation, tapi juga values – based corporation. Yang pertama merupakan model perusahaan yang fokusnya value creation alias cari duit, cari duit, dan cari duit. Sementara yang kedua, fokusnya adalah nilai – nilai (values) moral dan etik.

Yang pertama akan menjadikan manajemen sebagai economic animal, sementara yang kedua akan menjadikan manajemen sebagai etchical human. Alangkah indahnya jika kedua model itu disintesiskan, karena dengan demikian perusahaan tak akan keblinger seperti yang terjadi dalam kasus di atas.

(Ditulis oleh Yuswohady di majalah SWA. 24 Oktober – 4 November 2002)
COMPASSIONATE MARKETING COMPASSIONATE MARKETING Reviewed by Unknown on 12:52 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.