BRAND GOES SPIRITUAL

BRAND GOES SPIRITUAL

Apa yang membedakan merek – merek terkemuka seperti Singapore Airlines, Harley Davidson, The Body Shop, Hard Rock Café, Starbucks dengan merek – merek lainnya?

Merek – merek diatas memiliki charisma. Sebuah merek yang kharismatik tidak hanya mengandung unsure emosional, intelektual atau functional value saja.

Tetapi merek tersebut juga mengandung spiritual value yang menjadi pengikat antara merek dengan customer-nya, Ini pulalah yang dikemukakan oleh sejumlah raksasa bisnis dunia pada Global Brand Forum di Singapore tanggal 1 dan 2 Desember 2003 lalu. Saya hadir langsung pada acara yang diorganisir oleh The Ogilvy Group dan International Enterprise Singapore ini. Pesertanya sangat ramai, sekitar 700 pimpinan perusahaan terkemuka dari seluruh dunia menghadiri acara tahunan ini.

Memang, di lanskap bisnis baru saat ini, merek bukan lagi tugas dan tanggung jawab brand managers atau marketing managers semata. Namun sesungguhnya tanggung jawab seorang CEO. Ingat keputusan yang keliru bisa merusak value corporate secara keseluruhan.

Bagi para pemasar dan pebisnis, Global Brand Forum yang dilangsungkan tiaptahun di Davos, Swiss. Sejumlah nama kondang menjadi pembicara di acara ini, mulai dari Scott Bedbury, mantan chief marketing strategist di Nike dan Starbucks sampai Tom Peters, yang disebut sebagai the “Ur-Guru” (gurunya guru) bidang manajemen oleh majalah Fortune, hadir mengungkapkan pandangan – pandangannya tentang isu kritis menyangkut masalah merek dan bisnis di masa Pembicara lainnya, Naryana Murthy, Chairman of Infosys Technologies, mengatakan bahwa merek adalah “a mark of trust.” Kata Murthy, kalau Anda mau menciptakan merek, maka Anda harus menciptakan trust, confort danconfidence ke pelanggan Anda. Dan untuk melakukannya Anda harus menciptakan relationship jangka panjang berdasarkan integritas, kejujuran, moralitas terpuji.

Saya sendiri merasa sangat beruntung, karena bisa makan siang bersama dengan dua pembicara lainnya, Anita Roddick, pendiri The Body Shop, dan Deepak Chopra, mind body Guru dan penulis buku best-seller dunia. Saya terkesandengan ucapan Deepak Chopra,”Leaders who look only for external goals, such as money, will fail.”

Nah dari deretan pembicara dan materi yang mereka sajikan, bisa kita lihat bahwa konsep mereka sudah menuju ke spiritual. Merek yang kokoh bukan hanya lagi merek yang berbeda dari yang lain, memberikan value unggul, dan memberikan kualitas nomor satu kepada pelanggan, namun juga harus mampu memberikan dan memancarkan spiritual values kepada semua pihak, terutama pelanggan dan
karyawan.

Spiritual brand bukan bermakna merek yang berhubungan dengan agama. Bukan, bukan itu. Mirip dengan yang dikatakan Murthy, spiritual brand artinya merek yang berhasil membangun dirinya dengan penuh integritas, kejujuran dan estetika.

Merek dengan spiritual values inilah yang disebut spiritual brand. Tentu saja, membangun spiritual brand membutuhkan waktu yang lama dan upaya yang konsisten. Serangkain skandal keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa merek yang sangat
kokoh seperti Enron bisa hancur dalam sekejap jika tidak menerapkan good corporate governance dan business ethics dalam perusahaan itu. Kedua hal – inilah good corporate governance dan business ethics – yang merupakan fondasi utama dalam pembangunan spiritual brands.

Spiritual values harus benar – benar dihayati oleh seluruh karyawan yang terlibat dalam proses brand building. Spiritual values harus menjadi kultur perusahaan. Tugas top executive-lah – terutama CEO – untuk mengkomunikasikan spiritual values yang dianut perusahaan kepada seluruh karyawan. Sppritual brands tidak akan berbentuk jika spiritual values yang telah ditetapkan tidak “dibeli” terlebih dahulu oleh seluruh karyawan (istilah karennya adalah: selling the brand inside). pada akhirnya, spiritual brand mampu mebuat pelanggannya menjadi sangat percaya kepada merek itu. Pelanggan ini tidak akan lagi melihat offering dari merek itu. Secara otomatis, apapun yang ditawarkan akan dibelinya. Tidak heran jika para pelanggan ini juga mau membayar dengan harga premium untuk spiritual brands ini. Anda bisa lihat, harga secangkir kopi Starbucks atau tiket
depan.

Menurut Tom Peters, produk adalah sejarah. Perusahaan harus memasarkannya ke hati (consumer’s heart) bukan ke pikirannya (consumer’s mind). Branding bukanlah mensosialisasikan karakter mengenai siapa sesungguhnya saya. Kata Tom Peters, “Branding is about our story and why it’s persuasive. Emotion, after all, is the one ability that cannot be automated.”

Sementara Ho Kwon Ping, Chairman dari Banyan Tree Group, yang juga menjadi pembicara, mengatakan lain lagi, bahwa sebuah merek harus mengandung universal values yang membuat pelanggan dan karyawan merasa bangga diasosiasikan dengan merek itu. Kata Ho, “Consumers have grown cynical about slick advertising and are drawn to brands with deeply held values.” penerbangan Singapore Airlines misalnya, bisa beberapa kali lipat di atas parapemain lain.

Pelanggan jenis ini juga akan mendukung upaya apapun yang dilakukan spiritual brands itu. Bahkan jika ada yang mengkritik, pelanggan inilah yang akan maju membela merek itu tanpa diminta. Inilah yang saya sebut sebagai spiritual advocate customers. Pelanggan seperti inilah yang diidam – idamkan oleh seluruh perusahaan, karena mereka merupakan pelanggan loyal kita seumur hidup.
(Dimuat di Asia Inc. edisi Maret 2004)
BRAND GOES SPIRITUAL BRAND GOES SPIRITUAL Reviewed by Unknown on 6:15 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.